Wednesday, April 23, 2008

KEPERAWATAN

3.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN :
Dewasa ini petanda biokimia untuk menilai kerusakan sel otot jantung pada
penderita sindrom koroner akut semakin berkembang. Sindrom koroner akut
merefleksikan proses fisiologis dari iskemia miokard akut, dan lebih penting dari
sudut pandang klinik, merupakan suatu ‘continuum’ (proses berkelanjutan) resiko
bagi penderita dengan nyeri dada. Selama tiga dasa warsa terakhir, iskemia miokard
akut ditentukan sebagai penderita infark miokard atau non infark miokard,
berdasarkan kriteria badan kesehatan dunia (WHO), dimana diagnosis infark miokard
ditegakkan dengan adanya dua dari tiga kriteria : gejala klinis & nyeri dada yang
menjurus ke miokard infark, perubahan elektrokardiografi (EKG), dan parameter
biokimiawi ( misalnya peningkatan CK-MB). Pada kriteria pertama, pengamatan
seksama pada gejala klinik merupakan hal yang sangat penting, namun dari data
statistik, gejala tidak spesifik terdapat pada sepertiga penderita, terutama pada
penderita diabetes dan usia lanjut, yang umumnya menunjukan gejala iskemia ayng
tiddak khas. Kriteria kedua, yaitu adanya perubahan pada EKG, merupakan piranti
diagnosis infark miokard yang penting, disamping untuk menentukan terapi
trombolitik. Namun demikian, EKG mempunyai sensitifitas yang rendah, hanya
sekitar 50%. Kriteria ketiga adanya peningkatan pada parameter biokimia, yang
pada masa lalu digunakan aktifitas enzim CK-MB sebagai ‘baku emas enzim’ tetapi
karena keterbatasan spesifisitas, telah dicoba untuk memakai petanda biokimiawi
yang lain seperti mioglobin, troponin.
American Heart Association (AHA) memperkirakan 1,5 juta penduduk Amerika
mengalami serangan jantung setiap tahunnya dan kira-kira 34.000 dari kasus
tersebut dikeluarkan dari rumah sakit karena tidak diketahui diagnosanya, dan kira -
kira 25% sering meninggal selama 24 jam pertama dan sebagian dari kasus ini
diagnosanya tidak terdeteksi (56). Angka kematian dan komplikasi dari penderita ini
mewakili > 20% kejadian malpraktek pada kedokteran gawat darurat. Jelas bahwa
diperlukan petanda biokimiawi sebagian piranti diagnosis dan menilai beratnya
kerusakan sel otot jantung pada penderita dengan nyeri dada akut, sehingga para
klinisi juga akan meningkatkan kewaspadaan dalam manajemen pelayanan bagi
penderita dengan lebih baik, yang akhirnya dapat menurunkan mortalitas.

2.2.9. Patofisiologi iskemi dann infark miokard
IMA adalah kematian otot jantung akibat suplai oksigen yang tidak mencukupi
(tidak adekuat) dalam waktu yang cukup lama . Pada umumnya terjadi oklusi
trombosis pada arteri koroner mengalami plak ateromatoes. Trombosis merupakan
faktor utama terjadinya iskemi akut baik pada angina pektoris tak stabil maupun
IMA.
IMA merupakan keadaan berat yang terjadi akibat oklusi mendadak pembuluh
koroner atau pun cabangnya yang mengalami skerosis. Oklusi tersebut biasanya
disebabkan oleh adanya perubahan pada plak ateroma yang menyebabkan
tertutupnya lumen arteri koronaria secara mendadak (70,71).
Keberhasilan terapi trombolitik sangat me ndukung anggapan tersebut, walaupun
dikatakan bahwa trombosit bukan satu-satunya faktor yang berperan dalam
terjadinya IMA ( 29). Dilaporkan bahwa hampir 90% penderita IMA transmural (5-
10%) sulit dibuktikan adanya trombus sebagai penyebabnya dan pada keadaan ini
spasme arteri koroner terlibat di dalamnya (71). Patofisiologi IMA nontransmural (
subendokardial) belum banyak diketahui, atau adanya trombosis pada arteri koroner
kecil yang telah mengalami aterosklerosis berat. Selain itu dapat pula diakibatkan
adanya spasme koroner. Patogenesis terjadinya trombosis melibatkan banyak faktor,
antara lain vasoplasme akibat hilangnya endothelium dependent dilator mechanism
pada aterosklerosis.
Demikian pula menurunnya sintesis faktor-faktor endoterial yang beraksi sebagai
antikoagulan seperti tisue plasmibogen activator dan prostasiklin paa aterosklerosis,
juga ikut berperan dalam terbentuknya trombosis. Juga berbagai penelitian klinik
telah memperlihatkan adanya hubungan antara lipoprotein dan trombosis. Terjadinya
oklusi koroner selama 20 menit akan diikuti dengan terjadinya nekrosis miokard (
Infark Miokard).
Adanya nekrosis miosit akan menyebabkan kehilangan intergitas membran
sel dan makromolekul intraselluler akan berdifusi ke dalam jaringan interstitial
miokard dan selanjutnya akan masuk ke dalam mikrovakskuler dan limfatik kardiak.
Perubahan morfologi akan terjadi dalam 12 jam pertama setelah infark miokard
berupa inflamasi dan infiltrasi seluler, kemudian setelah 24 jam daerah infark akan
nampak pucat atau kekuningan dengan batas yang jelas, yang pada pemeriksaan
histologik ditemukan adanya infiltrasi lekosit .

2.2.8. INFARK MIOKARD AKUT
2.2.8.1. Morfologi aterosklerosis koroner
Aterosklerosis adalah suatu bentuk aterosklerosis yang terutama mengenai
lapisan intima dan umumnya terjadi pada arteri muskuler ukuran besar dan sedang
serta merupakan kelainan yang mendasari penyakit jantung iskemik. Kerusakan
vaskuler dan pembentukan trombus merupakan kunci dari proses dan progresifitas
aterosklerosis serta patogenesis sindrom koroner akut. Kerusakan vaskuler dimaksud
di klarifikasikan atas 3 tipe, yaitu Tipe 1 bila terjadi gangguan fungsi sel endotel
tetapi tanpa terjadi perubahan substansi morfologi, tipe 2 terjadi kerusakan endotel
dan intima dengan lamina interna elastik yang masih utuh dan tipe 3 kerusakan
endotel dengan intima & media (45).
2.2.8.1.1. Lesi dini
Adanya perubahan ultrastruktur yang terjadi pada aterosklerosis spontan,
khususnya lesi dini telah dilaporkan oleh Stary. Pada penelitian otopsi dari artei
koroner dan aorta pada orang-orang usia muda telah ditemukan adanya evolusi
secara mikroskopis dari aterosklerosis. Hal ini akibat adanya kerusakan vaskuler tipe
1 berupa kerusakan sel endotel yang diakibatkan gangguan aliran darah atau faktor
lainnya sehingga makrofag atau sel busa ditemukan dalam intima, yang me rupakan
tanda dini penumpukan lipid ( Stary I). oleh Stary lesi ini di klarifikasikan atas :
Stary I bila ditemukan adanya makrofag ataus sel busa dalam intima, Stary II bila
ditemukan juga sel-sel otot polos yang mengandung lipid dan tersebarnya lipid
ektraseluler, Stary III tampak adanya inti lipid ekstra seluler yang multipel
sedangkan Stary IV bila adanya ateroma (50)

2.2.8.1.2. Progresi aterosklerosis
Lesi dini aterosklerosis lebih cepat mengalami progresi pada mereka
dengan berbagai faktor resiko koroner. Pada beberapa plak dapat terjadi progresi
secara lambat, tetapi ada juga yang cepat.adanya fisura minor yang terjadi pada
lapisan lemak atau plak ateroma akan diikuti dengan pembentukan trombus da
©2003 Digitized by USU digital library 12
terjadinya fibrosis. Selanjutnya bila terjadi fisura plak yang dalam atau ulseri maka
dapat terjadi oklusi trombus dan timbul sindrom koroner akut

2.2.7.2. Nilai Prognostik Pemeriksaan Troponin T Pada APTS
Peningkatan kadar TnT merupakan faktor prediksi yang kuat meningkatnya
mortalitas (24). Gokhan, Gok dan Kaptanoglu (69) mendapatkan 34% penderita
angina akut saat istirahat mengalamai kenaikan kadar TnT dan setengahnya
berkembang menjadi IMA. Sedangkan pada 50% penderita IMA tersebut meninggal
dalam perawatan. Sementara penderita angina akut saat istirahat dengan kadar TnT
yang tidak terukur hanya 4,1% yang berkembang menjadi IMA. Hamm CW dkk (63)
melaporkan penelitian terhadap 109 orang penderita angina pektoris yang stabil
yang dilihat kadar CK, CKMB, dan troponin T setiap 8 jam selama 2 hari setelah dirawat, troponin T dapat terdeteksi rata-rata pada kadar 0,78 ng/ml pada 39%
penderita angina akut saat istirahat. Hanya 3 dari penderita tersebut mengalami
peningkatan CK-MB. Dari 33 penderita yang troponin T meninggi, 30% mengalami
infark miokard. Sebaliknya hanya 1 dari 51 penderita angina saat istirahat dengan
troponin T negatif yang berkembang menjadi IMA.
Penilaian resiko pada saat awal sangant diperlukan pada penderita dengan penyakit
koroner tak stabil, misalnya APTS. Beberapa penelitian dengan jumlah sampel yang
sedikit telah menunjukan bahwa penderita APTS dengan peningkatan kadar TnT
mempunyai prognosis jangka pendek maupun jangka panjangyang buruk. Bertil
Lindahl dkk dalam kelompok studi FRISC meneliti 976 penderita APTS dan
menemukan adannya peningkatan resiko serangan jantung jika terjadi peningkatan
nilai troponin T pada 24 jam pertama. Jika kadar troponin T kurang dari 0,06 ng/ml
mempunyai resiko rendah (4,3%) ; 0,06-0,18 ng/ml mempunyai resiko sedang
(10,5%) dan jika lebih dari 0,18 ng/ml mempunyai resiko tinggi untuk menadi IMA
atau kematian penyakit jantung. Penelitian ini menunjukan bahwa nilai troponin T
maksimal pada 24 jam pertama dapat disajikan sebagai petunjuk prognostik bebas
dan penting.
Stubbs dkk juga mendapatkan hasil yang sama, dari 460 penderita nyeri dada dan
diikuti selama rata-rata 3 tahun, 183 penderita terbukti APTS. Sebanyak 34%
penderita APTS tersebut mempunyai troponin T positif, dan secara bermakna
kematian jantung dan IMA berbeda dari yang troponin T nya negatif.

2.2.5. STRATIFIKASI RESIKO
Penentuan penyakit jantung koroner ditentukan dari gambaran klinis, EKG,
riwayat penyakit, kadar troponin serta faktor resiko terjadinya arterosklerosis.
Perubahan EKG merupakan pelengkap dari riwayat penyakit dan gejala klinis dan
masih menjadi suatu proses stratifikasi penting dari sindroma koroner akut .
Bila memungkinkan perekaman EKG dilakukan saat nyeri dada timbul.
Gambaran EKG yang normal yang normal pada saat episode nyeri dada merupakan
dasar kuat untuk menyatakan gejala yang tidak spesifik oleh sebab kardiak,
sememtara perubahan dinamis dari segmen ST dan gelombang T yang inversi
sangat mendukung diagnosa angina tak stabil atau non Q wave infark miokard.
Gelombang T yang inversi dan isolated relatif ringan dan prognosenya baik dibanding
dengan perubahan segmen ST. saat ini dapat dinyatakan bahwa EKG inisial tidak
hanya memprediksikan perjalanan jangka pendek tetapi depresi segmen ST juga
menunjukan menandai kelompok resiko tinggi pada waktu yang lama (55).
Konsentrasi serum troponin T dan I merupakan indikator peningkatan resiko baik
secara independen maupun merupakan pendukung dari perubahan EKG. Tanpa
memperdulikan perubahan EKG penderita dengan perubahan serum troponin mempunyai resiko lebih tinggi dibanding dengan yang normal. Disadari bahwa
terdapat perbedaan waktu selama 2 -4 jam setelah muncul gejala baru dapat
dideteksi perubahan serum troponin dan mencapai puncaknya pada 12-14 jam
kemudian. Peningkatan troponin ini merupakan indikator untuk komplikasi jangka
pendek dan jangka panjang. Selanjutnya dengan dasar informasi diatas penetapan
diagnosis angina yang stabil dapat dilakukan stratifikasi penderita dalam tiga
kelompok yaitu kelompok resiko rendah, sedang dan tinggi ( tabel 4).
Stratifikasi resiko ini merupakan proses yang berkesimbungan selama perawatan
penderita pada fase akut termasuk evaluasi riwayat penyakit sekarang, penyakit
terdahulu dan gambaran EKG. Pemeriksaan serum kardiak secara diagnostik sangat
diperlukan dans sesuai dengan guidelines 1994 merekomendasikan bahwa baik
kadar CK dan CK-MB diperiksa paa waktu dan setiap 6 sampai 8 jam dan seterusnya
paa 24 jam. guidelines 1994 belum merekomendasikan pemeriksaan troponin secara
rutin untuk deteksi kerusakan miokard. Sejak itu berbagai studi telah menunjukan
bahwa peningkatan kaar troponin T dan I berhubungan dengan dampak buruk dari
penderita sindroma koroner akut .

1.2.4. TROMBOSIS PLAK
Lebih dari 75% trombus yang ditemukan di sindroma koroner akut, terletak
ditempat dimana plak menglamai ruptur. Bila plak yang tidak stabil mendapat
pencetus, makka kap yang tipis tersebut akan koyak dan kemudian berlangsunglah
proses selanjutnya berupa pembentukan trombus yang dimulai dari fisura atau
robekan kap tadi. Mula- mula terjadi akumulasi trombosit ditempat koyakan,
kemudian ditambah dengan adanya fibrin, membentuk gumpalan dini yang disebut
white clot yang secara langsung berusaha menutupi semua permukaan yang robek
tadi. Kemudian datanglah eritrosit untuk menutupi seluruh white clot.
Didalam komponen plak, gumpalan lipid memiliki efek trombogenisitas yang
paling kuat, hal ini disebabkan oleh karena pengaruh adanya faktor jaringan, dimana
faktor jaringan ini mengaktifkan faktor IX dab X bersama membentuk trombin.
Sedangkan faktor yang mempengaruhi respons trombogenesis ditempat kap yang
terkoyak tadi adalah :
1. Substrat trombogenik yang memang selalu berada di tempat tersebut.
2. Iregularitas permukaan plak dan sempitnya stenosis ; semakin tajam lengkungan
kap stenosis dan semakin iregular, maka semakin mudah terjadi proses
trombogenesis tersebut.
3. Keseimbangan trombotik-trombotik faktor trombogenik misalnya
hiperagregabilitas, hiperkoagulabilitas dan menurunnya fibrinolisis meningkatkan
resiko terjadinya trombus pada sindroma koroner akut

1.2.3. Ruptur Plak
Ruptur plak ditemukan pada 56 %-95% sindroma koroner akut, Forrester
yang memeriksa dengan angioskopis intraoperatif mendapatkan 95% sindroma
koroner akut ditemukan adanya ruptur plak (49). Tid ak semua plak yang terjadi
pada proses aterogenesis menjadi plak yang tidak stabil, hal tersebut tergantung
dari bentuknya kap dan gumpalan lipid yang ada, dan proses yang mendasarinya,
dan hal ini sangat berhubungan dengan tampilan klinis.
Menurut American Heart Association, tipe plak dihubungkan dengan tampilan
klinis dapat dibagi menjadi 5 tipe yaitu (50) :
1. Tipe 1 : Penebalan tunika intima, makrofag, isolated foam cell, pada
fase ini tampilan klinisnya asimptomatik.
2. Tipe 2 : Fatty streak, terdapat akumulasi lipid intra sel dan infiltrasi
makrofag serta otot polos, fase ini juga masih asimptomatik.
3. Tipe 3 : masih seperti diatas tetapi disertai pula dengan lipid ekstra
sel dan deposisi jaringan ikat, juga masih asimptomatik.
4. Tipe 4 : Ateroma terdapat gumpalan lipid pada tunika intima, sel
inflamasi mulai infiltrasi diikuti dengan makrofag, sel busa, da sel T,
biasanya tampilan klinis pada fase ini asimptomatik, namun bisa
juga angina stabil.
5. Tipe 5a : Seperti tipe 4 disertai denganlapisan jaringan fibrous,
tampilan klinis masih seperti tipe 4.
Tipe 5b : Ateroma dengan klasifikasi berat di dalam core atau
lesinya, tampilan klinis apa fase ini adalah anginastabil.
Tipe 5c :Fibrous-ateroma dengan trombus mural dengan komponen
lipid yang minimal, tampilan klinisnya masih seperti 5 b.
6. Tipe 6 : Complicated lesion , terjadi ruptur plak tipe 4 dan 5 dengan
hemorhagi intra mural dan mulainya proses trombogenesis insitu.
Tampilan klinis dari fase adalah suatu keadaan yang disebut
sindroma koroner akut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi instabilitas dan ruptur plak (45) :
Faktor Eksternal :
1. Sistemik : Lingkungan internal/faktor farmakologik.
2. Faktor intrinsik dari plak : besarnya plak, lokasi plak, kepadatan lipid dan
ketebalan kap yang menyelimuti plak.
Faktor Internal :
1. Aktifitas sel inflmasi
2. Infeksi
3. Disfungsi endotel
4. Proliferasi sel otot polos
Evaluasi dari plak yang stabil menjadi tidak stabil melalui 5 tahap yaitu : aktifasi
endotel, kemudian LDL masuk ke dalam sel dan teroksidasi, kemudian memacu
produksi sitokin da n protease ( MMP expression), sehingga menyebabkan rupturnya
plak. Lima puluh persen dari timbulnya sindroma koroner akut, biasanya didahului
oleh faktor pencetus seperti : yang berhubungan dengan aktifitas saraf simpatis
sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba, peningkatan
aliran darah koroner, peningkatan kontraktilitas otot jantung, latihan fisik berat,
stress emosional dan lain sebagainya.

1.2.2. Struktur Plak
Pada mulanya telah disepakati bahwa terjadinya sindroma koroner akut oleh
karena adanya penutupan yang tiba-tiba dari aliran darah koroner yang
aterosklerotik yang kemudian mengakibatkan kekurangan oksigen di otot jantung
dan akibatnya terjadi jaringan iskemi sampai jaringan nekrosis. Luas tidaknya
jaringan nekrosis yang terjadi mempengaruhi harapan hidup penderita sindroma
koroner akut. Pada saat itu diperkirakan semakin besar ateroma yang ada di
pembuluh darah semakin mudah menyebabkan sindroma koroner akut, akan tetapi
ternyata pada penelitian dibuktikan bahwa justru pada stenosis yang ringan dan
sedang lebih banyak terjadi sindroma koroner akut dan hal ini diduga oleh karena
pecahnya ateroma tersebut ( ruptur plak)
Plak aterosklerosis yang sudah matang terdiri dari bermacam- macam yaitu :
lipid core atau gumpalan lipid, gumpalan lipid ini terdiri dari sel-sel makrofag yang
mengandung lipid di dalamnya, dan lipoprotein yang terjebak di dalam subendotelial
maupun ruang ekstra sel. Di dalam bungkah lipid tersebut konsistensinya lunak, selselnya
jarang ( hiposeluler) dan juga terdapat gumpalan kolesterol ester ( yang
berkonsistensi lunak) dan kristal kolesterol yang berkonsistensi agak keras.
Kemudian gumpalan lipid ini diselimuti oleh suatu kap yang terdiri dari matriks
jaringan ikat. Bila gumpalan lipid tersebut dominan dengan kap tipis, maka ateroma
tersebut disebut sebagai plak yang stabil. Sebaliknya bila gumpalan lipid leih padat
dengan kap yang kuat dan tebal disebut sebagai plak stabil. Maka bila dicermati,
terdapat dua macam plak yaitu yang stabil dan plak yang tidak stabil.

1.2. SINDROMA KORONER AKUT.
1.2.1. Defnisi
Sindroma koroner akut adalah suatu peralihan (spektrum) manifestasi dari
penyakit jantung iskemik meliputi angina tak stabil hingga infark miokard akut (IMA)
dengan gelombang Q atau pun tanda gelombang Q (Gambar 2).
1.2.1.1. Patofisiologi sindroma koroner akut
Penyakit jantung koroner merupakan penyakit yang progresif dengan
bermacam tampilan klinis, dari yang asimtomatis, angina stabil maupun sindroma
koroner akut, sampai kematian jantung mendadak (13). Hasil pengamatan patologis,
angiokopis dan biologis menunjukan adanya perbedaan gejala klinik antara angina
tak stabil dan infard miokard, disebabkan mekanisme patifisiologi yang
mendasarinya yakni ruptur aterosklerosis, dengan derajat trombosis yang berbedabeda
dan ada tidaknya embolisasi distal (7,43). Pada definisi yang diperluas,
sindroma koroner akut meliputi
Gambar 2. Continuum dari sindroma koroner akut
The Continuum of Acute Coronary Syndromes
Mycardial Ischemia
Stable angina Unsable angina Non Q-Wave Ml Q-Wave Ml
Currently undetected Non Q -Wave Ml
Ischemic Cell Injury
Reversible Small Area Ireversible Large Area
Juga semua penderita dengan kejadian awal yang menuju keparahan angina.
Walaupun studi Framingham menunjukan bahwa angina tak stabil hanya terdapat
pada 10% kasus yang merupakan manifestasi awal dari penyakit arteri koroner
diluar miokard infark, tetapi umumnya penderita mengalami suatu siklus atau
perubahan pola nyeri dada, dan hanya jumlah kecil yang memerlukan perhatian
maupun perawatan di rumah sakit. Diagosis angina tak stabil tidak memerlukan
perubahan EKG, biarpun adanya perubahan ini akan meningkatkan spesifisitas
diagnosis dan menunjukan prognosis yang jelek ( klasifikasi Braunwald).
Kejadian penyakit jantung koroner meliputi dua tahap yang berbeda. Tahap
pertama terdiri dari suatu periode awal asimtomatik, dimana terbentuk plak
aterosklerotik non obstruktif, dan progresi lebih lanjut tergantung pada faktor resiko.
Tahaop kedua terjadi trombogenesis dengan cepat dikarenakan koyaknya plak yang
mengeluarkan kontituennya yang bersifat trombogenik, seperti kolagen dan
tromboplastin jaringan yang menstimulasi agregasi trombosit, pembentukan fibrin,
dan perkembangan terjadinya trombus yang oklusif. Hasil akhir dari robeknya plak
tergantung pada keseimbangan hemostatis .
Keseimbangan hemostatis ini merupakan suatu interaksi yang kompleks antara
dinamika aliran darah, komponen dinding pembuluh darah, trombosit dan protein
plasma, begitu juga dengan faktor-faktor regulasi pada trombosit, sistem koagulasi
dan sistem fibrinolisis.
Kejadian trombosis pada penyakit jantung ateroskleros is dipengaruhi dan
distimulasi oleh beberapa faktor seperti : 1). Disfungsi endotel, 2). Hiperaktifitas
trombosit, 3). Peningkatan aktifitas prokoagulan, dan 4). Gabungan kapasitas
fibrinolisis.

HUBUNGAN KADAR TROPONIN-T DENGAN GAMBARAN KLINIS PENDERITA
SINDROMA KORONER AKUT
ELIAS TARIGAN
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
BAB-I
PENDAHULUAN
Pertanda biokimia dewasa ini dan di masa yang akan datang aka terus
mempunyai peran penting pada diagnostik, stratifikasi maupun pengobatan
penderita dengan sindroma koroner akut. Penatalaksanaan dengan metode
intervensi yang agresif namun rasional diperlukan untuk mengurangi angka
kesakitan dan kematian pada sindroma koroner akut. Masalahnya adalah belum
sempurnanya petanda yang dapat dipakai dengan mudah namun dapat sepenuhnya
dipercaya untuk deteksi dini terjadinya perburukan kejadian koroner pada sindroma
koroner akut . Pemeriksaan histopatologis ternyata membuktikan adanya kerusakan
minimal pada sel miokard atau mikro infark pada seluruh permukaan miokardium
penderita sindroma koroner akut yang mengalami perburukan serangan koroner atau
kematian. Kerusakan sel tersebut tidak dapat terlihat sebagai perubahan
elektrokardiogram (EKG) ataupun dalam pemeriksaan laboratorium enzim-enzim
jantung yang selama ini rutin dikerjakan untuk diagnostik kerusakan miokard suatu
sindroma iskemik akut .
Akhir-akhir ini telah dikembangkan suatu pertanda biokimiawi yang baru
dalam pemeriksaan kerusakan sel miosit otot jantung dengan memantau
penglepasan suatu protein kontraktil sel miokard yaitu troponin T akibat disintegrasi
sel pada iskemi berat. Penelitian diluar negri menunjukan bahwa troponin T ini
mempunyai sensitifitas 97% dan spesifitas 99% dalam deteksi kerusakan sel
miokard. Bahkan disebutkan penanda ini dapat mendeteksi kerusakan sel miosit
jantung yang sangan minimal (mikro infark), yang mana oleh penanda jantung yang
lain, hal ini tidak ditemukan .
Sehingga pada keadaan ini dikatakan sensitifitas dan spesitifitas troponin T
lebih superior dibandingkan pemeriksaan enzim-enzim jantung lainnya. Penelitian
petanda biokimia ini banyak yang berfokus padda diagnosa dini dan juga untuk
menilai prognostik, karena jika ditemukan dalam plasma, penanda ini dapat
mengenali kelompok pasien yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya
serangan jantung baik saat dirawat di rumah sakit (fase akut) maupun sesudah
keluar dari rumah sakit . Beberapa penelitian melaporkan dengan pengukuran
troponin T, suatu protein yang dilepas dari kerusakan otot jantung, merupaka
indikator terbaik yang dapat digunakan untuk menilai penderita yang mempunyai
resiko kematian dari serangan jantung (7-11). Penelitian pada pusat kedokteran
universitas Duke di Amerika Serikat menyimpulkan pemeriksaan troponin T adalah
indikator yang baik dari kerusakan otot jantung, terutama jika dipakai pada
penderita yang dengan pemeriksaan CK-MB dan EKG tidak menunjukan suatu
kerusakan otot jantung yang nyata.
Dari laporan pertama Hamm dkk (1992) tentang penelitian troponin T yang
meninggi pada populasi kecil dengan pasien angina pektoris tak stabil, disebutkan
bahwa resiko kematian dan infark miokard selama dirawat di rumah sakit sangat
meningkat, meskipun diberikan pengobatan yang adekuat .
Hal yang sama pada studi FRISC, menyatakan nilai prognostik penderita
sindroma koroner akut berhubungan erat dengan kadar absolut troponin T saat

No comments: